“Numpang duduk, ya Pak?” kata
saya kepada lelaki tua itu, walaupun saya tahu bahwa bangku yang didudukinya
itu bukan miliknya.
Dia memindahkan ranselnya yang
kumal itu ke pangkuannya, kemudian menggeserkan tubuhnya sedikit tanpa menoleh
kepada saya.
Wajahnya yang hitam legam itu
tidak menunjukkan ekspresi apapun, tapi, dari sorot matanya saya melihat
kepedihan atau kekecewaan yang sangat mendalam. Tentunya bukan kepada saya,
tetapi kemungkinan besar kepada ‘sang nasib’ yang tidak berfihak kepadanya.
Dari rambutnya yang sudah
putih semua, serta kulitnya yang penuh kerutan, saya taksir usianya sekitar 75
tahun. Sepatunya mengkilap dan pakaiannya cukup bagus serta rapi, lebih baik
daripada yang saya pakai pada waktu itu – tidak ada alasan bagi saya untuk
menduga bahwa dia adalah seorang gelandangan. Satu-satunya hal yang membuat
saya yakin bahwa dia sedang dirundung masalah hanyalah suara perutnya yang berkeruyukan – mungkin perutnya itu
belum diisi apapun sejak pagi tadi.
Setelah kira-kira sepuluh
menit lamanya kami duduk berdampingan di bangku itu tanpa berkomunikasi
sedikitpun, saya menawarkan sebatang rokok kepadanya, sekedar untuk
menghilangkan rasa jenuh dan terutama rasa dingin di tengah hujan yang cukup
deras itu. Dengan cepat dia menyambut rokok itu, tapi air mukanya tidak
sedikitpun menunjukkan kegembiraan.
“Terima kasih.” katanya tanpa
ekspresi setelah saya menyalakan rokok yang terselip diantara bibirnya, dan
kemudian, kembali dia terdiam seperti tadi.
Setelah cukup lama saya
merenung sambil menikmati rokok saya, saya coba untuk sekedar memecahkan
kebekuan suasana senja yang kelabu itu dengan bertanya:
“Kelihatannya Bapak bukan
orang sini ya Pak?”
“Memang bukan,” katanya, “saya
mau pulang ke Bandung.”
“Oooh, pantesan dandanan Bapak
seperti itu. Kalau saya boleh tahu, di daerah mana Bapak tinggal?”
“Di Jalan Mohammad Ramdhan.”
jawabnya singkat.
“Oh ya?” saya agak terkejut. “
Saya waktu kecil tinggal di situ juga, di Gang Sridara. Kira-kira yaaa…………..50
tahun yang lalu.”
Dia menatap saya dalam-dalam
dan kelihatannya berpikir untuk beberapa saat, kemudian bertanya: “Sebelah mana
rumah Pak Manap?”
Rasa heran saya bertambah
mendengar pertanyaannya itu, dan saya balik bertanya: “Pak Manap RT? Yang
usahanya membuat anggur obat ‘Pusaka Putera’?”
“Ya, yang dulu ibunya berjualan
pecel.” katanya.
“Rumah saya dulu persis
didepannya, yang ada papan reklame Toti Modiste-nya.” kata saya.
“Kalau begitu Bapak pasti anak
Oom Agus. Saya ingat awal tahun 50-an yang menempati rumah itu adalah Oom Agus
dan Tante Toti, serta anak tunggal mereka, Toto.” katanya dengan mata berbinar.
Saya juga tidak kuasa lagi
menyembunyikan perasaan saya. Tanpa saya sadari, saya memegang pahanya sambil
berseru: “Benar, saya ini Toto anak Oom Agusman. Bapak ini siapa, ya?”
“Saya Sulistyo, yang biasa
dipanggil dengan nama Lili. Yang dulu tinggal di dekat rumah Pak RK*.” katanya.
Saya mengerutkan dahi, mencoba
mengingat-ingat semua teman-teman dan tetangga saya sewaktu saya tinggal di
situ, dan setelah beberapa saat barulah saya ingat tampangnya ketika masih remaja.
Saya memeluknya, dan memohon
kepadanya untuk mampir ke rumah saya dan menginap selama beberapa malam,
sekedar untuk melepaskan kerinduan saya kepada masa anak-anak saya yang begitu
indah.
Walaupun kami tidak pernah
akrab satu sama lain, cukup banyak alasan saya untuk bersikap begitu emosional:
Sejak saya berhenti bekerja enam tahun yang lalu, saya kehilangan kontak dengan
teman-teman sejawat saya, dengan teman-teman kuliah saya, dengan teman-teman
SMA, SMP, apa lagi teman-teman saya ketika saya masih kecil. Satu-satunya teman
saya sekarang hanyalah istri saya yang telah mendampingi saya selama lebih dari
35 tahun.
Kami mengobrol sampai hujan
mereda, dan kemudian saya memaksanya untuk menginap di rumah saya.
Betul juga dugaan saya, dia
memang lapar sekali. Setelah menghabiskan dua piring nasi ditambah dengan
semangkuk mie instan, dia langsung tidur mendengkur di sofa di ruang tamu kami,
sedangkan rokoknya yang masih mengepul terletak di lantai!
Setelah saya mematikan
rokoknya, saya selimuti tubuhnya yang kurus kering itu dengan sehelai kain
sarung, dan kemudian saya pandangi wajahnya yang lebih tua daripada usianya
yang sebenarnya.
Menurut perhitungan saya,
paling-paling usianya baru 66 tahun, hanya lima tahun lebih tua daripada saya.
Mungkin liku-liku jalan hidupnya yang penuh kepahitan yang telah menorehkan
garis-garis ketuaan yang begitu dalam diwajahnya itu.
Malam itu saya terpaksa harus
bersabar untuk tidak mengajaknya mengobrol mengenai masa lalu kami. Yang saya
bisa lakukan saat itu hanyalah mengenang suka-duka saya serta keadaan kota
Bandung ketika saya masih duduk di Sekolah Dasar.
Tidak sekejappun saya tidur,
tapi saya sama sekali tidak merasa rugi.
*Rukun Kampung – istilah
sekarang RW
No comments:
Mohon komentari dengan sopan