Ketika saya pindah ke situ, awal tahun 1957, saya
tidak tahu bahwa nama jalan itu adalah Jalan Mohammad Ramdhan. Setahu saya
kampung itu lebih dikenal dengan nama Ancol Baru. Mungkin juga jalan itu baru
dinamai Jalan Mohammad Ramdhan beberapa tahun setelahnya.
Seingat saya, walaupun baru dibuat, jalan yang
menembus pesawahan itu tidak pernah mulus, selalu rusak berat, karena secara
rutin dilalui beberapa tank yang dijalankan dengan kecepatan tinggi.
Gang Ibu Encoh dimana saya tinggal, sekitar tahun ‘60
berganti nama menjadi Gang Sridara, disesuaikan dengan nama gang-gang
disekitarnya:
Srimahi, Sripohaci, Sriremaja dan entah Sri apa lagi.
Di kampung yang baru itu, jumlah rumah masih bisa
dihitung dengan jari, sehingga setiap orang mengenal orang-orang lainnya, setidak-tidaknya
kenal namanya.
Di belakang rumah saya ada sebidang sawah yang cukup
luas, sedangkan dari teras depan rumah saya juga bisa dilihat bentangan sawah
yang batasnya pegunungan, puluhan kilometer di selatan Bandung.
Beberapa kali dalam seminggu saya pergi sendiri atau
dengan salah seorang teman saya ke sawah untuk berburu burung belekok, sejenis bangau yang kecil yang
kaki dan paruhnya pendek, atau kami pergi hanya sekedar untuk makan siang di
gubuk orang. Apapun lauknya, makan di tengah sawah dijamin nikmat.
Seperti juga anak-anak lain seusia saya, saya biasa
memancing belut dengan urek, yaitu
pancing khusus untuk itu, yang talinya saya buat sendiri dengan memilin benang
jahit. Umpan yang dipakai biasanya cacing tanah atau anak katak.
Senja hari adalah saat-saat yang paling menyenangkan,
dimana suara katak terdengar dimana-mana.
Pada musim tertentu, ketika petani tidak bertanam
padi, sawah-sawah itu dijadikan kolam untuk beternak ikan mas. Dan pada musim
itu saya biasa bermain perahu-perahuan yang juga saya buat sendiri dari kayu.
Kecuali kelereng dan gambar, mainan anak-anak pada
masa itu tidak ada yang dijual di toko atau di pasar.
Seingat saya, saya sangat menguasai semua permainan
anak-anak, dari mulai adu jangkrik, main gasing, main anggar seperti Zorro,
perang sumpitan, tebakan manggis, segala jenis permainan dengan kelereng,
sampai bermain kobak, yaitu sejenis
judi dengan menggunakan uang logam.
Kampung di seberang Jalan Mohammad Ramdhan dinamai
Sawah Kurung karena hanya terdiri dari beberapa ratus rumah yang dikelilingi
oleh bentangan sawah yang tembus sampai ke Jalan Ciateul.
Saya hapal betul semua gang yang ada di Sawah Kurung
itu, karena setiap hari saya selalu berjalan melalui kampung itu kalau saya pergi
ke sekolah.
Saya selalu mampir ke rumah teman saya Soemarsono yang
tinggal di salah satu gang di kampung itu untuk kemudian berjalan bersama
menuju sekolah kami di Jalan Balonggede.
Saya tidak akan bercerita banyak mengenai teman saya
yang satu ini, walaupun kecerdasannya dan terutama kedewasaannya sangat saya
kagumi.
Dia sangat berbakti kepada kedua orang tuanya, rajin
mengasuh adik-adiknya dan berani bertanggung-jawab atas segala perbuatannya –
walaupun umurnya paling-paling hanya satu-dua bulan lebih tua dari saya.
Mungkin karena dia anak sulung dan keadaan ekonomi orang tuanya yang serba
kekurangan yang membuat dia begitu nampak dewasa dan jantan.
Dalam hal belajar, prestasinya baik sekali. Dia juara
satu ketika lulus ujian, hanya satu angka lebih tinggi nilai Pengetahuan
Umumnya dari saya, sedangkan untuk Bahasa Indonesia dan Berhitung kami mendapat
nilai yang persis sama.
Kami tidak pernah bertemu lagi sejak kami lulus dari
SD.
Pertama kali saya tertarik kepada seorang perempuan
adalah ketika saya duduk di kelas dua SMP.
Nama gadis itu Tuti Sunarsih, sama-sama bersekolah di
SMP III di Jalan Dewi Sartika, hanya saja dia satu kelas dibawah saya. Gadis
lincah itu masih sangat kekanak-kanakan - kalau berjalan biasanya dia menendang-nendang
kaleng bekas susu atau apa saja yang enak ditendang. Kalau dia tidak menemukan
apapun untuk ditendang, digeser-geserkannya telapak sepatunya ke tanah yang
berdebu sehingga betisnya penuh debu.
Saya terlalu pengecut untuk mendekatinya sehingga
sampai sekarangpun belum pernah kami berkenalan. Saya hanya berani mengatakan
kepada teman-teman saya bahwa saya suka sekali kepadanya.
Paling sedikit dua kali sehari saya bersepeda melewati
rumahnya, tapi jarang sekali saya kebetulan melihatnya berada di teras atau di
halaman.
Lingkungan sekitar itu sampai sekarang dinamai Ancol
Kawung karena di halaman rumahnya terdapat sebatang pohon aren atau kawung.
Kang Lili adalah seorang remaja tanggung yang setahu
saya tidak mempunyai teman sebaya. Dia biasa bergaul dengan tukang becak
teman-teman ayahnya, atau dengan teman-teman sebaya saya yang berumur antara
sepuluh sampai dua belas tahun.
Walaupun dia bukan idola kami, bahkan kadang-kadang
kami merasa ditipu olehnya, kami sering berhayal untuk hidup senang seperti dia.
Kegiatannya sehari-hari membuat kami semua merasa iri.
Betapa tidak, dia selalu punya banyak uang, bisa hidup
semaunya tanpa rasa takut ada yang melarangnya: tidak usah pergi ke sekolah,
bisa merokok dengan gaya seorang jagoan di film-film koboy, bisa tidur dimana saja, di gardu atau di teras rumah orang, bisa
bangun kapan saja, bisa mandi di sungai, bisa menonton film 17 tahun ke atas,
bisa naik becak atau delman tanpa harus membayar, bisa bermain seharian dengan
kami, bisa bergaul akrab dengan perempuan pelacur, bisa berkata-kata jorok.
Pokoknya merdeka sepenuhnya!
Kemerdekaan sejati yang hanya dikalahkan oleh
kemerdekaan orang gila!
Tubuhnya hitam legam, kekar dan sangar. Mungkin dia
nampak lebih ganteng dari kami karena dia sudah biasa memakai celana panjang,
sedangkan kami, anak-anak yang belum masuk SMA selalu bercelana pendek.
Hal lain yang membuat kami kagum adalah kenyataan
bahwa dia tidak pernah kalah dalam permainan apapun. Bukan karena dia lebih tua
dari kami, tapi dia memang betul-betul hebat. Misalnya saja, jangkriknya selalu
menang jika diadu dengan jangkrik manapun, sampai akhirnya salah seorang anak
membelinya dengan harga yang cukup mahal. Tapi, biasanya keesokan harinya dia
membawa jangkrik yang lebih hebat lagi, yang dia jual dengan harga yang lebih
tinggi lagi.
Kepada anak-anak yang merasa tertipu dia menjelaskan:
kehebatan jangkrik itu sangat tergantung kepada cara merawatnya.
Orang tua kami tidak menyukainya, dan dia juga tahu
diri. Tidak pernah dia mengajak kami bermain apapun, biasanya dia mendatangi
kami yang sedang bermain, memberi komentar-komentar yang kami anggap sangat
berguna dan akhirnya kamilah yang mengajaknya bermain.
No comments:
Mohon komentari dengan sopan